Keutamaan Orang Miskin yang Sabar(2)
KEUTAMAAN ORANG MISKIN YANG SABAR
Sikap yang Benar Menurut Syariat Islam Bagi Orang yang Mengalami Kefakiran dan Kemiskinan.
1. Wajib Mengimani Qadha dan Qadar dan Wajib Meyakini Bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha Adil dan Maha Bijaksana dalam Setiap Perkara yang Ditakdirkan-Nya
Hendaknya orang yang diuji dengan kefakiran dan kemiskinan yakin dengan sebenar-benar yakin bahwa Allah Ta’ala Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, Maha Adil, Maha Kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla meletakkan setiap perkara pada tempatnya. Karena, Dia-lah Allah Yang Maha Mengetahui kondisi makhluk-Nya, Maha Mengetahui akibat-akibat yang timbul dari mereka, Dia-lah yang menciptakan kita dan memberi rezeki kepada seluruh makhluk, dan Allah juga Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik dan terburuk untuk hamba-Nya. Bisa jadi seorang manusia senang terhadap suatu perkara, misalnya kekayaan, tidak berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla, namun itu mudharat (bahaya) untuk dia. Dan sebaliknya bisa jadi dia benci atau tidak senang terhadap suatu perkara, misalnya kemiskinan atau berjihad di jalan Allah, namun perkara itu baik untuk dia. Maka dari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam Al-Qur-an,
وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“…Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah/2:216]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
“Sunggguh, Rabb-mu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki) ; sungguh, Dia Maha Mengetahui, Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” [Al-Israa’/17: 30]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَٰكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
“Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahateliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Mahamelihat.” [Asy-Syuuraa/42: 27)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini, ”Seandainya Allah Tabaraka wa Ta’ala memberikan kepada mereka rezeki di atas kebutuhan mereka, niscaya hal itu akan membawa mereka berlaku sewenang-wenang dan saling menzhalimi satu dengan yang lainnya karena angkuh dan sombong…. Akan tetapi Allah Tabaraka wa Ta’ala memberikan rezeki kepada mereka sesuatu yang dipilih-Nya untuk kemaslahatan mereka. Allah Maha Mengetahui tentang hal tersebut. Allah Tabaraka wa Ta’ala menjadikan kaya orang yang berhak menerima kekayaan dan menjadikan fakir kepada orang yang berhak menerima kefakiran.”[1]
Maka, apabila seorang yang miskin melihat dan memikirkan dengan pandangan yang benar bahwa semuayang terjadi ini ada hikmahnya, maka kesedihannyapun akan hilang dan dia yakin bahwa ini yang terbaik untuk dia. Akan tetapi, jika seorang itu tetap sedih maka dia akan malas dalam berusaha, bekerja dan mencari nafkah.
2. Sabar Atas Ujian yang Menimpa
Seseorang yang ditimpa kefakiran dan kemiskinan wajib bagi dia untuk bersabar atas ujian yang menimpanya. Jangan sampai dia marah atau tidak ridha dengan takdir Allah Azza wa Jalla. Dan hendaknya dia mengeluhkan kemiskinannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur-an tentang Nabi Ya’qub Alaihissallam,
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Dia (Ya’qub) menjawab, ‘Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.’” [Yusuf/12: 86]
Dan ketahuilah, bahwa sabar tatkala terjadi musibah pertama kali memang pahit rasanya, tetapi kesudahannya sangat manis. Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan orang-orang yang bersabar kesudahannya sangat manis dan indah. Yang dimaksud sabar ialah ketika pertama kali terjadi musibah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُوْلَى
“Sesungguhnya sabar itu ketika pertama kali terjadi musibah.”[2]
3. Jangan Melihat kepada Orang yang Lebih Kaya
Hendaknya orang yang fakir dan miskin tidak melihat kepada orang yang lebih kaya daripadanya, tetapi hendaklah dia melihat ke bawah, kepada orang yang lebih fakir dan lebih miskin daripada dia. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melihat kepada orang-orang yang di bawah[3], agar dia tidak menyepelekan/ meremehkan nikmat Allah Azza wa Jalla (seperti penghasilan, kesehatan, rumah, dll) yang telah Allah Azza wa Jalla berikan kepadanya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ ، وَلَا تَنْـظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ ، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَـزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ .
“Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas mu karena yang demikian itu lebih patut agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kalian.”[4]
4. Jangan Minta-minta kepada Orang Lain, Kecuali karena Sangat Terpaksa
Hendaknya orang yang fakir dan miskin jangan sekali-kali minta kepada makhluk untuk menghilangkan kemiskinannya kecuali dalam keadaan yang sangat darurat.
Dari Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَـحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَـةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّىٰ يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَـهُ الْمَسْأَلَـةُ حَتَّىٰ يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ : سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ –وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّىٰ يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْـحِجَا مِنْ قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَـةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ ، – أَوْ قَالَ : سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – فَمَاسِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.
“Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang : (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.”[5]
Hadits ini menunjukkan bahwa meminta-minta hukumnya adalah haram, tidak dihalalkan, kecuali untuk tiga orang: (1) Seseorang yang menanggung hutang dari orang lain, baik disebabkan menanggung diyat orang maupun untuk mendamaikan antara dua kelompok yang saling memerangi. Maka ia boleh meminta-minta meskipun ia orang kaya. (2) Seseorang yang hartanya tertimpa musibah, atau tertimpa paceklik dan gagal panen secara total, maka ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. (3) Seseorang yang menyatakan bahwa dirinya ditimpa kemelaratan, maka apabila ada tiga orang yang berakal dari kaumnya memberi kesaksian atas hal itu, maka ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup[6]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْـجَمْرَ.
“Barangsiapa meminta-minta (kepada orang lain) tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api.”[7]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَـهُمْ تَكَثُّـرًا ، فَإِنَّـمَا يَسْأَلُ جَـمْرًا ، فَلْيَسْتَـقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِـرْ.
“Barangsiapa meminta harta kepada orang lain untuk memperkaya diri, maka sungguh, ia hanyalah meminta bara api, maka silakan ia meminta sedikit atau banyak.”[8]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ، إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِـيْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ.
“Meminta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat perlu.”[9]
Sesungguhnya minta-minta kepada manusia adalah satu kehinaan, merusak kehormatan, merusak kemuliaan diri, merusak wibawa seseorang, dan yang yang paling besar adalah merusak Tauhid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th.728 H) berkata, “Seorang hamba mesti mendapatkan rezeki dan ia membutuhkan rezeki. Apabila ia meminta rezeki kepada Allah maka ia menjadi hamba Allah dan butuh kepada-Nya. Apabila ia meminta kepada makhluk maka ia menjadi hamba makhluk dan butuh kepadanya. Oleh karena itu, meminta–minta kepada makhluk hokum asalnya HARAM, dibolehkan oleh syari’at dalam kondisi darurat.”[10]
Tentang masalah hukum minta-minta, hukum asalnya adalah HARAM. Dibolehkan minta-minta karena ada kebutuhan yang sangat mendesak dan darurat.
Sesungguhnya minta-minta pada hakikatnya adalah (1) kezhaliman terhadap hak Rububiyyah Allah Azza wa Jalla,(2) kezhaliman terhadap hak orang yang diminta, dan (3) kezhaliman pada hak orang yang meminta.
Adapun kezhaliman terhadap hak Rububiyyah, disebabkan ia mengorbankan dirinya, permintaannya, kefakirannya, dan kehinaannya kepada selain Allah Azza wa Jalla. Semestinya ia meminta hanya kepada Allah saja, ia meminta kepada selain Allah, berarti ia meletakkan permintaan bukan pada tempatnya dan bukan kepada yang berhak diminta. Ini adalah kezhaliman.
Adapun kezhaliman kepada orang yang diminta, yaitu ia meminta kepada orang yang kekayaan itu tidak ada padanya. Dia telah menyusahkan orang lain untuk menunaikan apa yang ia minta, dan jika ia berikan ia beri dengan rasa tidak senang dan benci.
Adapun kezhaliman kepada dirinya, maka ia telah mengorbankan kehormatan dirinya dan menghinakan dirinya kepada selain Allah, ia telah menurunkan derajat dirinya kepada kedudukan yang paling rendah dan paling hina. Dia telah menjual dirinya dengan cara minta-minta. Dia telah menjual kesabarannya, tawakkalnya, dan kerendahan terhadap rizki Allah dengan minta-minta kepada manusia. Ini pada hakekatnya adalah kezhaliman kepada dirinya…[11]
5. Tawakkal Hanya Kepada Allah Azza wa Jalla dan Tidak Bersandar kepada Sebab Rezeki
Jika seorang yang miskin sudah berusaha atau kerja, kemudian dia mendapatkan pekerjaan, usaha, atau dagang, maka janganlah sekali-kali dia bersandar kepada sebab pekerjaan, usaha, atau dagangannya, karena rezeki adalah dari Allah. Dan jangan juga dia merasa bahwa hasil pekerjaannya, usaha atau dagangannya itu berkat kemahirannya atau kecerdasannya. Itu tidak boleh. Janganlah seperti Qarun, tapi hendaknya ia bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla. Karena sesungguhnya yang memberikan rezeki adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia mendapat rezeki karena Allah yang memberi, bukan karena kepandaiannya, gelarnya, kehebatannya, dan lainnya. Semua rezeki datang karena Allah Azza wa Jalla yang memberi, tapi harus ada sebab usaha. Maka wajib bagi kita bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kondisi yang sulit seperti ini kita serahkan semua urusan kita kepada Allah. Jangan sampai kita minta-minta kepada manusia. Usaha sekedarnya dan tawakkal kepada Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“…Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sungguh, Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi segala sesuatu.” [Ath-Thalaq/65: 2-3]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْتَتَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ ، تَغْدُوْ خِمَاصًا ، وتَرُوْحُ بِطَانًا.
“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sungguh-sungguh tawakkal kepada-Nya, sungguh kalian akan diberikan rezeki oleh Allah sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung. Pagi hari burung tersebut keluar dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.”[12]
Dan tawakkal adalah bersandarnya hati kepada Allah Ta’ala dan menyerahkan urusankepada-Nya.
6. Memiliki Sifat Qana’ah (Ridha dan Puas dengan Apa yang Allah Karuniakan)
Setiap Muslim dan Muslimah harus merasa puas, ridha, dan bersyukur dengan rezeki yang Allah berikan kepadanya agar harta tersebut diberkahi oleh Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّاللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَبْتَلِيعَبْدَ هُبِمَاأَعْطَاهُ ،فَمَنْرَضِـيَبِمَا قَسَمَا للهُلَـهُبَارَكَاللهُ لَـهُفِيْهِ ، وَوَسَّعَهُ، وَمَنْلَـمْيَـرْ ضَلَـمْيُبَارِكْلَـهُ.
”Sesungguhnya Allah menguji hamba-Nya dengan apa yang Dia karuniakan (rezekikan) kepadanya, maka barangsiapa yang ridha (menerima dan merasa puas) dengan rezeki yang diberikan kepadanya, maka (pasti) Allah akan memberkahinya denganmeluaskan (melapangkan) rezekinya. Dan barangsiapa yang tidak ridha dengan rezeki yang Allah berikan kepadanya, maka (pasti) Allah tidak akan memberkahinya.”[13]
Orang yang merasa cukup dan puas dengan rezeki yang Allah karuniakan kepada dia, meskipun dia hanya punya bekal makanan untuk hari itu saja, maka seolah-olah ia memiliki dunia dan seisinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِـيْ سِرْبِهِ ، مُعَافًـى فِـيْ جَسَدِهِ ، عِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ ، فَكَأَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا.
“Barangsiapa di antara kalian berada di pagi hari dalam keadaan aman pada dirinya, merasa sehat badannya, dan mempunyai persediaan makanan untuk hari itu, maka seakan-akan ia telah diberikan dunia.”[14]
7. Tidak Boleh Hasad terhadap Orang Lain
Jangan sampai tertanam dalam hati seorang Muslim sifat hasad (dengki, iri). Hasad yaitu membenci datangnya nikmat Allah kepada orang lain. Hasad (dengki) hukumnya haram dalam Islam.
Seorang Muslim dan Muslimah tidak boleh dengki karena dengki adalah sifat tercela, sifat orang-orang Yahudi, dan dapat merusak amal. Allah Azza wa Jalla melarang seseorang mengharapkan segala apa yang Allah Ta’ala lebihkan dan utamakan atas sebagian manusia dari sebagian yang lain.
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
ﱡan janganlah kamu irihati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [An-Nisaa’/4:32]
8. Selalu Bersyukur dan Bertakwa kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala
Hendaknya orang yang fakir dan miskin berusaha untuk bersyukur atas nikmat-nikmat Allah Tabaraka wa Ta’ala yang tidak terhingga, kewajiban dia adalah mengingat nikmat-nikmat yang Allah berikan dan bersyukur atasnya, dan hendaknya dia bertakwa kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا﴿٢﴾وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“…Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya…” [Ath-Thalaq/65: 2-3]
Hendaknya dia bersabar dan terus berdo’a kepada Allah, maka Allah akan berikan jalan keluar dari musibah dan keadaan yang menimpa kita. Dan Allah akan tambah rezeki. Allah berfirman,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” [Ibrahim/14:7]
9. Istighfar (meminta ampun kepada Allah) dan bertaubat kepada-Nya, dengan perkataan maupun Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا ﴿١٠﴾ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا ﴿١١﴾ وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
“Maka aku berkata (kepada mereka), “Mohonlah ampunan kepada Rabbmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu.” [Nuuh/71: 10-12]
10. Bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَاابْنَآدَمَتَفَرَّغْلِعِبَادَتِـيْأَمْلَأْصَدْرَكَغِنًىوَأَسُدَّفَقْرَكَ ،وَإِلَّاتَفْعَلْ ،مَلَأْتُيَدَيْكَشُغْلًاوَلَمْأَسُدَّفَقْرَكَ.
“Wahai anak Adam! Luangkan waktu mu untuk beribadah kepada-Ku, maka Aku akan isi dadamu dengan kekayaan dan Aku akan menutupi kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka Aku akan mengisi tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak akan menutupi kefakiranmu.”[15]
RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM TIDAK KHAWATIR UMMATNYA FAKIR ATAU MISKIN
Yang harus diingat oleh orang-orang fakir miskin adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak takut ummatnya fakir atau miskin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَأَبْشِرُوْاوَأَمِّلُوْامَايَسُرُّكُمْ ،فَوَاللهِمَاالْفَقْرَأَخْشَىعَلَيْكُمْ ،وَلَكِنِّـيأَخْشَىعَلَيْكُمْ أَنْتُبْسَطَالدُّنْيَا عَلَيْكُمْكَمَابُسِطَتْعَلَىمَنْكَانَقَبْلَكُمْ ،فَتَنَافَسُوْهَاكَمَاتَنَافَسُوْهَا ،وَتُهْلِكَكُمْكَمَاأَهْلَكَتْهُمْ.
“Bergembiralah dan berharaplah apa yang menyenangkan kalian. Demi Allah, bukan kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian, tetapi aku khawatir jika dunia (kekayaan) dibentangkan (diluaskan) atas kalian sebagaimana yang pernah dihamparkan atas orang-orang sebelum kalian, kemudian kalian berlomba-lomba memperoleh kekayaan itu seperti yang mereka lakukan, dan akhirnya kekayaan itu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka.[16]
Di dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَاأَخْشَىعَلَيْكُمُالْفَقْرَ ،وَلَكِنِّـيْأَخْشَىعَلَيْكُمُالتَّـكَاثُرَ ،وَمَاأَخْشَىعَلَيْكُمُالْـخَطَأَ ،وَلَكِنِّـيْأَخْشَىعَلَيْكُمُالتَّعَمُّدَ.
“Aku tidak khawatir atas kalian kefakiran (kemiskinan), akan tetapi yang aku khawatirkan atas kalian yaitu berlomba-lomba memperbanyak harta kekayaan. Dan aku tidak khawatir atas kalian berbuat dosa karena kekeliruan (tidak sengaja) akan tetapi yang aku khawatirkan atas kalian berbuat dosa dengan sengaja.”[17]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dua hadits ini tidak khawatir ummat Islam fakir atau miskin, tetapi yang beliau sangat khawatirkan yaitu ummat Islam berlomba-lomba mengumpulkan harta, tamak kepada dunia, sibuk mengejar harta kekayaan, dan bangga dengan kekayaan dunia. Berlomba-lomba dalam mengejar kekayaan dunia akan menyeret manusia kepada kerusakan agama dan dunia. Karena harta dan dunia adalah indah dan manis serta sangat dicintai oleh manusia, sehingga manusia mengorbankan apa saja untuk memperolehnya dan mereka sibuk mencarinya, sehingga di antara mereka ada yang mengorbankan agama dan aqidahnya demi dunia. Ada yang mengorbankan kehormatan dan keluarganya. Ada juga yang mengorbankan ibadahnya, sampai tidak shalat, tidak puasa, tidak menuntut ilmu syar’i karena mengejar dunia. Bahkan ada yang sampai membunuh saudaranya, saling memusuhi, dan berbuat kerusakan di muka bumi dengan sebab tamak terhadap harta kekayaan. Allahummainnaa nas-alu-Ka al-‘afwawal ‘aafiyah.
DO’A BERLINDUNG DARI KEFAKIRAN
١- اَللهم إِنّـِيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْـجُبْنِ، وَالْبُخْلِ، وَالْهَرَمِ، وَالْقَسْوَةِ، وَالْغَفْلَةِ، وَالْعَيْلَةِ، وَالذِّلَّةِ، وَالْمَسْكَنَةِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ، وَالْكُفْرِ، وَالْفُسُوْقِ، وَالشِّقَاقِ، وَالنِّفَاقِ، وَالسُّمْعَةِ، وَالرِّيَاءِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الصَّمَمِ، وَالْبَكَمِ، وَالْـجُنُوْنِ، وَالْـجُذَامِ، وَالْبَرَصِ، وَسَيِّـئِ الْأَسْقَامِ.
[1] “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut, kekikiran, pikun, kekerasan hati, lalai, berat tanggungan, kehinaan, dan kerendahan. Dan aku berlindung kepadamu dari kefakiran (kemiskinan), kekufuran, kefasikan, perpecahan, kemunafikan, sum’ah (memperdengarkan amalan kepada orang lain), riya’ (memperlihatkan amalan kepada orang lain), dan aku berlindung kepadamu dari tuli, bisu, gila, penyakit lepra, belang, dan keburukan berbagai macam penyakit.”[18]
٢- اَللهم إِنِّـيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ النَّارِ وَعَذَابِ النَّارِ، وَفِتْنَةِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ، وَشَرِّ فِتْنَةِ الْغِنَى، وَشَرِّ فِتْنَةِ الْفَقْرِ، اَللهم إِنِّـيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ، اَللهم اغْسِلْ قَلْبِـيْ بِمَاءِ الثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّ قَلْبِـيْ مِنَ الْـخَطَايَا، كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَبَاعِدْ بَيْنِـيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ. اَللهم إِنِّـيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ، وَالْمَأْثَمِ، وَالْمَغْرَمِ.
[2] “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dan adzab neraka, fitnah dan adzab kubur, keburukan fitnah kekayaan dan keburukan fitnah kefakiran. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan fitnah Dajjal. Ya Allah, bersihkanlah hatiku dengan salju dan air es, serta sucikanlah hatiku dari segala kesalahan sebagaimana Engkau menyucikan baju putih dari kotoran. Dan jauhkanlah antara diriku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan, perbuatan dosa, dan hutang.”[19]
٣-اَللهم إِنِّـيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ، وَالْقِلَّةِ، وَالذِّلَّةِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ.
[3] “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekurangan, kehinaan, dan aku berlindung kepada-Mu dari menzhalimi atau dizhalimi.”[20]
٤-اَللهم إِنِّـيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ جَهْدِ الْبَلَاءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوْءِ الْقَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ.
[4] “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari susahnya bala’, hinanya kesengsaraan, keburukan qadha’, dan kegembiraan para musuh.”[21]
Orang fakir dan miskin yang baik adalah yang bertakwa kepada Allah, senantiasa beribadah kepada Allah dan taat kepada-Nya, melaksanakan ketaatankepada Allah dan Rasul-Nya, menjauhkan larangan dan tidak melanggar, serta sabar dan syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka adalah orang-orang yang mulia meskipun mereka fakir dan miskin.
Mudah-mudahan apa yang saya tulis bermanfaat bagikaum Muslimin dalam kondisi sulit seperti ini. Kita berdo’a kepada Allah agar kita dijauhkan dari kefakiran dan kemiskinan.
Yang perlu diingat bahwa rezeki sudah pasti dikaruniakan oleh Allah Yang Maha luas Rahmat-Nya. Allah memberikan rezeki kepada seluruh makhluk-Nya, ada yang diluaskan rezekinya, ada juga yang disempitkan rezekinya oleh Allah, dan Allah Maha Mengetahui hamba-hamba-Nya. Kita wajib ikhtiyar mencari rezeki, usaha, dan lainnya, tapi Allah yang menentukan semuanya. Dan apa yang Allah takdirkan buat kita itu yang terbaik buat kita.
Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik pada setiap amal yang dicintai dan diridhai-Nya. Dan semoga Allah Ta’ala menjadikan kitas ebagai muslim yang bersyukur kepada Allah dan bersabar atas segala cobaan dan ujian. Mudah-mudahan rezeki yang Allah karuniakan kepada kita menjadi barokah, dapat mencukupi kebutuhan keluarga dan dapat juga kita berinfak dan sedekah dengan ikhlas semata-mata mengharapkan pahala dan ganjaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para Shahabatnya, dan orang-orang yang mengamalkan dan membela Sunnah beliau sampai akhir zaman.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Kamis, 22 Sya’ban 1441 H/ 16 April 2020
_______
Footnote
[1] Tafsiir Ibni Katsiir (VII/206), tahqiq Sami Salamah, cet. Daar Thaybah.
[2] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 1283), Muslim (no. 926).
[3] Melihat kebawah, maksudnya melihat kepada orang-orang yang lebih fakir miskin dari dia, melihat kepada orang-orang yang tidak mempunyai rumah, tidak punya kendaraan, melihat kepada orang yang gajinya lebih kecil, atau dia melihat kepada orang yang kondisi penyakitnya lebih parah dari dia, dan lainnya, supaya dia mensyukuri nikmat Allah yang Allah karuniakan kepadanya.
[4] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6490), Muslim (no. 2963 (9)), at-Tirmidzi (no. 2513), dan Ibnu Majah (no. 4142), ini lafazhnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[5] Shahih: HR. Muslim (no. 1044), Abu Dawud (no. 1640), Ahmad (III/477, V/60), an-Nasa-i (V/89-90), ad-Darimi (I/396), Ibnu Khuzaimah (no. 2359, 2360, 2361, 2375), Ibnu Hibban (no. 3280, 3386, 3387–At-Ta’liiqaatul Hisaan), dan selainnya.
[6] Lihat buku penulis “Hukum Meminta-minta dan Mengemis dalam Syari’at Islam”, penerbit Pustaka At-Taqwa.
[7] Shahih: HR. Ahmad (IV/165), Ibnu Khuzaimah (no. 2446), dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (IV/15, no. 3506-3508). Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6281), dari Hubsyi bin Junadah Radhiyallahu anhu.
[8] Shahih: HR. Muslim (no. 1041), Ahmad (II/231), Ibnu Majah (no. 1838), Ibnu Abi Syaibah dalamal–Mushannaf (no. 10767), al-Baihaqi (IV/196), Abu Ya’la (no. 6061), dan Ibnu Hibban (no. 3384-at-Ta’liiqaatul Hisaan), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[9] Shahih:At-Tirmidzi (no. 681), Abu Dawud (no. 1639), an-Nasa-i (V/100) dan dalam as-Sunanul Kubra (no. 2392), Ahmad (V/10, 19), Ibnu Hibban (no. 3377–at-Ta’liiqaatul Hisaan), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir(VII/182-183, no. 6766-6772), dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’(VII/418, no. 11076), dari Shahabat Samurah bin Jundub Radhiyallahu anhu.
[10] Al-‘Ubuudiyyah (hlm. 70) tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Atsari, cet. Ke-6 Daarul Mughnith. 1433 H.
[11] Diringkas dari perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, Madaarijus Saalikiin (II/242) cet. Darul Hadits–Kairo.
[12] Shahih: HR.Ahmad (I/30, 52), At-Tirmidzi (no. 2344), At-Tirmidzi berkata, ‘Hadits ini hasan shahih’, An-Nasa-i dalam al-Kubra (no. 11805), Ibnu Majah (no. 4164), al-Hakim (IV/318) dari Shahabat Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 310).
[13] Shahih: HR. Ahmad (V/24) dan al-Baihaqi dalam Syu’abulI imaan (no. 9274). Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 1869).
[14] Hasan: HR. Al-Bukhari dalamal-AdabulMufrad (no. 300), at-Tirmidzi (no.2346), IbnuMajah (no. 4141), dan selainnya, dari Shahabat ‘Ubaidullah bin Mihshan al-Anshary Radhiyallahu anhu. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 2318).
[15] Shahih: HR. Ahmad (II/358), at-Tirmidzi (no. 2466), Ibnu Majah (no. 4107), dan al-Hakim (II/443),dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik at-Tirmidzi. Lihat Silsilah al-Ahadiitsash-Shahiihah (no. 1359).
[16] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 3158, 4015, 6425) dan Muslim (no. 2961), dari ‘Amr bin ‘Auf al-Anshari Radhiyallahu anhu.
[17] Shahih: HR. Ibnu Hibban (no. 2479-Mawaariduz Zham-aan), al-Hakim (II/534) dan Ahmad (II/308, 539), dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik al-Hakim. Imam al-Hakim berkata, “Shahih menurut syarat Muslim.” Dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Silsilahal-Ahaadiits as-Shahiihah (no 2216).
[18] Shahih: HR. Al-Hakim (I/530) dan Ibnu Hibban (no. 2446–Mawaarid). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (III/357) dan Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 1285).
[19] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6377), Muslim (no. 589 (129)), dan lainnya, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha.
[20] Shahih: HR. An-Nasa-i (VIII/261) dan Abu Dawud (no. 1544). Lihat Shahiihan-Nasa-i(III/111, no. 5046).
[21] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6347, 6616) dan Muslim (no. 2707).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/15108-keutamaan-orang-miskin-yang-sabar2.html